Chapter 1 : I Lost Control
Pada dasarnya setiap manusia menginginkan kebahagiaan. Bahagia untuk diri sendiri, keluarga, teman, orang lain, atau juga yang lainnya. Tetapi didalam suatu hubungan, entah pertemanan, kekeluargaan, rumah tangga, pasti tidak selalu harmonis, selalu ada pertikaian didalamnya. Memang, itu adalah bumbu yang akan terus ada dalam kehidupan seseorang. Terkadang bukan karena kita membenci, tetapi kesalahpahaman yang membuat situasi itu terjadi. Tapi tidak bagi gadis berambut hitam panjang yang kini tengah duduk di ranjang menatap keluar jendela itu. Ini sudah tengah malam namun angin malam tak membuat ia merasa kendinginan sekalipun. Suhu tubuhnya kian meningkat bersama dengan emosinya yang terpendam. Ia sudah lelah dengan semua ini. Ia tidak bisa melihat lagi-
PRAANG!!!
-suara pecahan kaca terdengar dari kamarnya yang ia kunci dari dalam. Sudah tidak ada diskusi lagi tentang bagaimana orang tuanya yang tengah bertengkar hebat itu memutuskan akhir dari cerita keluarga ini. Sudah dua tahun lamanya sejak ayahnya meninggalkan pekerjaannya karena dipecat, sehingga ibunya yang harus bekerja lebih keras untuk menafkahi keluarganya. Setiap hari, tidak ada hari tanpa pertikaian. Titania, nama gadis itu, ia kemudian menatap kearah bingkai foto yang tegeletak di bangku meja belajarnya itu. Ia meraih benda itu dengan tangan kanannya, tak lama kemudian ia meneteskan air matanya, untuk yang terakhir kalinya ia menatap bingkai foto yang didalamnya ada ia, ibunya, ayahnya, dan laki – laki yang tampak sedikit lebih tua darinya itu, kakaknya.
“Kakak… andaikan aku ikut bersamamu, mungkin jauh lebih baik.” Lirihnya, kemudian ia membuang bingkai foto itu keluar jendela.
Ia terus memikirkan, apakah tidak masalah jika terus seperti ini? Selama ini yang ia ketahui hanyalah ayahnya yang suka pulang larut malam dalam kondisi mabuk berat, dan ibunya yang bekerja keras. Ibunya tidak pernah memberitahu apa pekerjaannya, tetapi Titania mendengar cerita teman sekelasnya yang mengatakan kalau ibunya adalah pekerja seks disuatu tempat. Hatinya begitu tersayat setelah mendengar kabar itu. Namun, jauh lebih sakit lagi jika ia harus menanyakan hal itu pada ibunya, sedangkan ibunyalah yang memberi dia makan. Hal itu juga yang membuat Titania sering dibully oleh teman – temannya. Ia memendam itu sendiri. Meski begitu, ibu tetaplah ibu. Ia akan terima seperti apapun ibunya.
‘Teman?’ Pikirnya dalam hati. Sepertinya kata itu tidak ada dalam kamusnya lagi. Tidak ada orang yang ia percayai lagi sekarang. Jika ada, orang itu sudah pergi. Kakaknya. Padahal ia berangkat untuk mencari pekerjaan, karena ayahnya kehilangan pekerjaannya, maka kakaknyalah yang bertugas untuk membantu. Namun, kakaknya tak pernah kembali lagi. Ia bahkan tidak memberi kabar apapun. Mengenaskan bukan?
“Nak! Buka pintunya, nak…” Seru suara ibunya dari luar pintu. Tapi Titania tidak mau menghiraukannya. Bukannya ia tidak peduli, hanya saja sedang tidak ingin diganggu dengan keributan yang tiada akhir itu. Ia sudah muak, tidak ada yang perlu dibicarakan di tengah malam seperti ini, baginya hanya mengganggu watu tidurnya saja. Sudahlah, ia butuh tenang. Titania mengambil posisi untuk beranjak tidur, tetapi sesaat sebelum itu ia melihat kearah bawah pintunya, sepertinya ibunya benar – benar menunggunya.
“Hahh~” Ia menghela nafas berat, kemudian beranjak dari kasur untuk membukakan pintu.
KRIEET-
-BRUK…
Titania membulatkan matanya dan menutupi mulutnya yang menganga lebar setelah melihat tubuh ibunya yang tegeletak berlumuran darah di pintu kamarnya itu. Apa yang terjadi? Ia dengan cepat membangunkan tubuh ibunya ke pangkuannya, apa yang ia lihat saat ini sungguh tidak bisa dipercaya. Ia mengrejap – rejapkan matanya berkali – kali untuk memastikan bahwa ini adalah kenyataan.
Ibunya tidak bergerak, nafasnya pun mulai melemah, matanya sayu, terdapat luka tusukan dibagian dadanya. Pastinya hanya rasa sakit yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Titania menoleh kesekeliling, ia mencari sosok ayahnya yang entah dimana keberadaannya.
“Ayah! Ayah dimana?!” Teriaknya sembari berusaha mencabut pecahan kaca itu.
“Ayah! Tolong!!!” Air matanya mulai mengalir. Cobaan apalagi ini? Sekarang, dimana ayahnya? Siapa yang tega melakukan ini?
Darah terus mengalir keluar, Titania tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Peralatan medis pun tidak ada. Benar – benar kacau. Tiba – tiba seseorang datang dari dapur.
“Apa maumu? Biarkan saja dia mati.” Ucap seseorang itu. Titania menoleh, “Ayah?!”
“Apa maksudnya? Ayah yang melakukan ini? Kenapa ayah tega? Selama ini, ayah tidak pernah bekerja, ayah selalu pulang larut setelah mabuk, ayah yang selalu meminta uang ibu, ayah tidak pernah-”
PLAK
“-Akh,” Titania memegangi pipi kirinya yang memerah akibat tamparan keras dari ayahnya. Ia kemudian menunduk kebawah dan hanya bisa menatap wajah ibunya yang kini tengah sekarat itu.
“Ya, aku yang membungkamnya, aku yang menusuknya, aku yang melakukannya. Kau pikir aku masih mau dengan wanita jalang itu, hah?!” Ujar ayah Titania. Sepertinya ia dalam keadaan setengah sadar.
“Kau tau? Ibumu itu pelacur! Itu berarti dia selingkuh. Ibumu wanita jalang. Dia pembohong. Hahahahaha” Tegas ayahnya.
“…” Titania terdiam. Kata – kata ayahnya bisa ia dengar namun sulit dicerna oleh otakya dan air mata terus mengalir. Ia tak akan pernah menyangka bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Ia memeluk tubuh ibunya. Meski ia berhsil mencabut kaca itu dari tubuh ibunya, namun ia tidak bisa menghentikan pendarahan.
“Aa, Ibu… ” gumamnya lirih. Sorot matanya berubah, ia tidak bisa menahan diri lagi. Semuanya terlalu menyakitkan, bukankah lebih baik memang diakhiri saja?
Titania berdiri, “Bukankah itu semua karena ayah yang tidak mau bekerja? Ibu rela bekerja seperti itu agar kita bisa hidup! Kenapa ayah malah menyakiti ibu?!”
CTAK. DOR!
Dengan secepat kilat sebuah peluru berhasil menembus kepala sang ibu.
“Apa kau mau nasibmu sama seperti ibumu?!”
Titania tidak mengerti bagaimana ayahnya bisa mendapatkan pistol itu dan menembakannya tepat di kepala ibunya. Ia tak habis pikir dengan semua yang terjadi malam ini. Matanya sembab, ia terus meneteskan air mata. Menatap lantai yang bersimbah darah itu. Rasa cemas, takut, sedih, semua menjadi satu. Ia sama sekali tidak menyangka ayahnya akan melakukan hal itu.
“Tidak ayah.” Titania menggelengkan kepalanya lemah.
Sang ayah yang tampak tak berdosa itu mendekatkan dirinya pada Titania, kemudian dengan tangan kirinya ia mengangkat dagu Tania dan dengan tangan kananya ia memasukkan ujung pistol itu ke mulut Titania secara paksa.
“Akh~”
Tubuh Titania melemas, wajahnya semakin pucat seiring derasanya air mata yang mengalir. Sekarang, ia bisa melihat dengan sangat jelas wajah ayahnya yang penuh dengan amarah itu. Bukan seperti ayahnya yang dulu ia kenal. Ia hanya memejamkan matanya, jika ayahnya menarik pelatuk pistol itu maka tamatlah sudah.
BEP.
Titania merasakan tubuh berat ayahnya itu jatuh, tembakan kedap suara itu berhasil mengenai kepala sang ayah yang sekarang tak sadarkan diri. Pistol yang ada di mulutnya itu ia dorong keluar dari mulutnya.
“Hei, siapa yang kau tembak itu? Dia bukan target kita. Aku sudah berhasil membunuh pak tua koruptor itu.” Ucap seorang lelaki diujung pintu. Tampak ia mengajak lawan bicara disebelahnya.
“…” Hening. Lawan bicaranya itu tak menggubris pertanyaan dari kawannya itu. Kedua sosok itu mendekat kearah Titania.
“Siapa kalian? Apa yang akan kalian lakukan?” tanyanya. Kedua pemuda itu semakin mendekat sehingga Titania bisa melihat dengan jelas wajah mereka.
“Aku lihat kau akan dibunuh oleh pak tua ini. Jadi aku membunuhnya.” Ujar laki – laki berambut kecoklatan yang memiliki garis luka di bawah matanya.
“Hehei Rey, apa yang-”.
“Diam.” Potong pemuda yang dipanggil Rey itu. Kemudian Rey kembali menatap kearah Titania.
“Dan kau. Aku sudah menyelamatkanmu, dan kau sudah melihat wajahku dan dia.” Ucapnya sembari menunjuk kearah kawannya yang berambut pirang.
“Pilih sekarang,” lanjutnya.
“Berguna untuk kami, atau mati?”
‘Oh, Ya Tuhan. Kenapa pilihan itu sesulit ini.’ Pikir Titania. Kini ia menelan ludahnya, percuma saja kalau ia hanya selamat sesaat namun harus kembali mendapatkan kenyataan yang pahit. Apa yang akan ia dapatkan lagi setelah ini? Saat ini ia sudah tidak punya kedua orang tua, kakaknya pergi, dan tidak ada seorang teman pun.
“Baiklah, aku akan berguna untuk kalian.” Jawab Titania kemudian, terlihat dengan jelas bibirnya gemetaran.
“OK. Mission Complete.”
“Tapi…”
“Aku akan menjelaskannya setelah kau ikut dengan kami.” Ucap Rey dengan tegas.
“Bagaimana dengan orang tuaku? Tidak mungkin aku meninggalkan mereka disini.” Titania menatap jasad orang tuanya yang tergeletak di depan kamarnya.
“Aku tidak mau mengulanginya.”
“Hei Rey, sabarlah sedikit, dia ini perempuan…” Ujar kawanya berambut pirang itu.
“Ken, kau aktifkan bomnya. Kita keluar dari sini sekarang.” Rey meminta kawannya itu untuk mengaktifkan bom yang telah ia pasang.
“Baik bos.” Jawab Ken sembari menekan tombol pada remote yang ia bawa.
Kedua pemuda itu berjalan kearah pintu untuk keluar dari rumah ini, namun Titania masih terdiam diposisinya.
“Kenapa diam? Ayo keluar. Kau ini lemah sekali, kalau kau tidak cepat, kau bisa mati.” Ken menarik lengan kiri Titania yang masih mencerna kata – kata Rey. Kapan dia memasang bom dan dimana?
Tak lama setelah mereka keluar dari rumah, terdengar dentuman keras suara bom yang menggema. Karena lingkungan yang sepi, efeknya tidak akan membuat orang mencari sumber suara.
.
.
.
Sekarang pukul 01.10 a.m. Titania, Rey dan Ken berada di sebuah mobil untuk perjalanan menuju mansion. Selama perjalanan suasana begitu hening dan tidak ada diskusi apapun. Titania masih tidak percaya akan hal yang terjadi hari ini. Ia benar – benar seperti kehilangan akalnya. Namun air matanya sudah habis terkuras sehingga hanya menyisakan perasaan sedih yang mendalam.
Sesampainya di mansion, mereka kemudian menuju ke ruang tamu. Tanpa perlu basa – basi lagi, “Aku ada banyak pertanyaan untuk kalian.” ucap Titania sembari duduk di sofa.
“Sebelum itu, siapa namamu?” tanya Ken
“Titania.”
“Hmm, bagus juga. Hanya itu?” tanyanya lagi. Sedangkan Titania hanya mengangguk kecil mengiyakannya.
“Kami ini pembunuh bayaran, bill for kill. Namaku Kent Lendrick,” ucap Ken dengan santai.
“Ka-kalian… pembunuh bayaran?!” ujar Titania tidak percaya. Ia menatap tampilan kedua teman laki – lakinnya sekarang itu dengan seksama, “Tapi kalian terlihat masih muda,” lanjutnya kemudian.
“Ya, kau juga terlihat seumuran dengan kami,” ujar Ken sambil menyalakan rokok yang ada di kantong saku jacket hitamnya.
“Aku masih SMA kelas 1,”
“Hahaha, mau bergabung di sekolahku?” Tanya Ken setelah ia menghisap rokok.
“Sekolah? Kalian sekolah?” Tanya Titania membeo.
“Ya, kami pakai uang hasil kerja kami untuk sekolah, meski hanya untuk formalitas,” jawab Ken. Dipojok sofa terlihat Rey yang masih terdiam, ia menyalakan laptopnya kemudian mengetikkan sesuatu.
“Kenapa kalian menyelamatkanku? Meski ayahku terbunuh, tetapi entah mengapa aku senang aku masih hidup sekarang. Meski sekarang aku tidak punya apapun. Tapi aku akan terus hidup kan?”
“Aku hanya mendengar suara tembakan dari luar, ketika kami menjalankan misi untuk membunuh koruptor, lokasinya tidak jauh dari rumahmu itu. Bodoh sekali pintu rumahmu itu terbuka, jelas saja aku bisa masuk.” Ujar Rey menjawab pertanyaan dari Titania, namun fokus matanya tetap pada yang ia kerjakan.
“Aku tidak berniat menolongmu. Aku hanya melakukan kesalahan, membunuh orang yang bukan targetku, jadi aku harus membungkammu, atau kau yang harus berguna,”
“Hahaha, ini pertama kalinya kau melakukan kesalahan, Rey,” ujar Ken sembari ketawa. “Tapi aku tidak menyangka kau akan melakukannya. Bukannya kau tidak punya belas kasihan?”
“Hn.” Hanya itu yang dapat Rey katakan setelah mendengar perkataan Ken.
“Aku belum tahu namamu,” ujar Titania pada Rey yang masih tetap fokus pada laptopnya.
“Rey. Itu saja.” Jawabnya singkat. Sorot mata Titania sedikit berubah, sepertinya ia mengerti akan suatu hal.
“Baiklah, kak Rey, kak Ken, ajari aku cara membunuh.”
To Be Continued